Senin, 13 Februari 2012

Artikel


WANGSAKERTA PELITA DALAM KEGELAPAN SEJARAH JAWA BARAT

Naskah Wangsakerta monumental dan kontroversial dua kata itulah yang dipandang cocok untuk memberikan apresiasi terhadap naskah kuno yang menjadi pelita dalam keburaman sejarah Jawa Barat termasuk juga kerajaan-kerajaan nusantara. Terkuaknya nama raja-raja, kerajaannya, serta kapan terjadinya merupakan salah satu dari sekian banyak hal penting dalam naskah Wangsakerta. Naskah yang berasal dari kesulatan cirebon ini memberikan gambaran secara gamblang menyingkap tabir gelap sejarah yang sekian lama terkubur oleh kebuntuan dan hal-hal yang irasional
Naskah yang monumental rasanya tidak terlalu berlebihan jika kata tersebut disandangkan kepada naskah wangsakerta. Hal itu didasakan pada riwayat penulisan, esensi serta kekuatan karya dalam menyajikan fakta-fakta sejarah yang selama ini belum terkuak khususnya di Jawa Barat dan juga kerjaan-kerajaan di nusantara. Penulisannya memakan waktu yang sangat lama antara tahun  (1677- 1698) oleh Pangeran Wangsakerta dan tim  dari kesultanan cirebon. Naskah-naskah Wangsakerta ditulis pada kertas kulit kayu yang diolah dan diproses secara halus sehingga kedap air, bertuliskan huruf kawi dengan bahasa jawa tengahan.
Riwayat Penulisan
Riwayat penulisan dilatar belakangi oleh kegemaran Pangeran Wangsakerta dalam membaca naskah-naskah kuno, dan ia pula dikenal sebagai ahli sejarah pada zamannya, selain itu Wangsakerta pernah menerima pesan dari ayahnya Panembahan Girilaya untuk menyusun pustaka mengenai kerajaan-kerajaan di nusantara. Pada tahun 1677 diadakanlah gotrasawala (musyawarah) di keraton kasepuhan cirebon yang berisi menentukan susunan kepanitiaan, hasil dari musyawarah tersebut menghasilkan keputusan tentang siapa penanggung jawab, ketua penulisan, serta para penasihat agama yang didatangkan dari berbagai negara dan daerah seperti ulama islam dari arab, pendeta siwa dari india, pendeta wisnu dari jawa timur, dan pemuka agama buda dari jawa tengah serta pemuka konghucu dari semarang. Selain itu susunan panitia pelaksana pun menjadi isi dari musyawarah tersebut sehingga merumuskan siapa saja yang akan mengemban tugas sebagai  penulis naskah, wakil penulis naskah, penyeleksi naskah, penanggung jawab keamanan, duta keliling atau undangan, penanggung jawab konsumsi, sampai penanggung jawab akomodasi. Untuk memudahkan proses penulisan maka Pangeran Wangsakerta membagi  utusan dari seluruh negeri menjadi lima sangga atau kelompok, yang tugasnya setiap kelompok harus menyususn sejarah daerahnya,  kelimasangga tersebut mewakili seluruh daerah dari ujung timur sampai ujung barat kerajaan-kerajaan di nusantara kemudian hasilnya dimusyawarahkan, dinilai kebenarannya oleh para penasihat, setelah disepakati bersama maka dibuat catatan resmi untuk kemudian dibukukan dengan penanggung jawab Pangeran Wangsakerta.
Dalam tiap naskah yang ditulisnya Wangsakerta selalau mencantumkan uraian pendahuluan mengenai penyusunan naskahnya, isinya mengenai suka dukanya dalam menyusun naskah secara detail, karena kebanyakan wakil-wakil tiap daerah dalam penyusunannya tidak mau kalah dalam mengungkapkan argumentasinya, meskipun banyak hal yang bersifat irrasional, bahkan merka hampir berperang tanding (madwandwa yuddha) di dalam ruang sidang. Namun dengan kebijaksanaan Pangeran Wangsakerta serta masukan-masukan dari para saksi dari seluruh negeri maka kesalahpahaman tersebut dapat diluruskan, sehingga menghasilkan sebuah karya yang didasarkan pada fakta dan merupakan keputusan bersama. Sebuah pekerjaan yang monumental di pertengan abad 17, ternyata raja di Jawa Barat telah bisa menyusun sebuah dokumentasi sejarah secara profesional melibatkan semua pihak dan pengerjaannya dilakukan lebih dari 22 tahun.
            Esensi Naskah
Didasarkan pada isi, naskah Wangsakerta memuat segala sesuatu secara detail seperti sebuah kerajaan kapan berdirinya, letaknya, rajanya siapa, berapa lama berkuasa, semuanya tersusun secara faktual dan rasional. Bahkan yang sangat mengagumkan  di awal-awal naskah disebutkan tentang penciptaan bumi, kemudian tahapan-tahapan perkembangan bumi dan mahluk yang tinggal sesudahnya dari mulai hewan, jenis-jenis manusia purba sampai manusia yang sempurna. Naskah yang terbuat dari kulit kayu halus dengan tinta hitam itu menjelma menjadi sebuah karya budaya nusantara di Jawa Barat kira-kira satu abad sebelum Immanuel kant melontarkan teorinya tentang asal-usul planet bumi, atau kira-kira dua abad sebelum tokoh evolusi inggris Charles Robert Darwin mencetuskan teorinya dalam buku “ On The Origin Of species”. Sebuah hal yang sangat luar biasa dimana ilmu pengetahuan menyandarkan berbagai teorinya tentang penciptaan bumi dan tahapan-tahapan perkembangan manusia  kepada teori-teori yang berasal dari barat ternyata salah satu raja di Jawa Barat yaitu Pangeran Wangsakerta telah lebih dahulu menjelaskannya secara gamblang dengan selisih waktu 1-2 abad lebih awal daripada para pemikir dari barat.
Kontroversial
Kontroversial itulah gelar kedua yang disandang oleh naskah Wangsakerta, banyak pengamat mengatakan bahwa naskah Wangsakerta merupakan naskah palsu karena pembuatannya dilakukan pada abad ke 17, banyak perbedaan dengan naskah-naskah lainnya yang lebih awal umur pembuatannya. Kemudian Wangsakerta dianggap menyudutkan kerjaan tertentu seperti yang tercantum dalam pustaka rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 tentang palagan bubat, isinya menyebutkan bahwa terjadinya perang bubat antara majapahit dengan sunda diakibatkan oleh penghianatan gajah mada, semula sunda dengan raja Prabu lingga buana datang untuk menikahkan putri kerajaan dengan Hayam Wuruk sebagai raja majapahit, namun keadaan menjadi lain ketika sampai di daerah bubat majapahit mengatakan bahwa putri citraresmi merupakan persembahan bagi raja Hayam Wuruk sebagai bukti sunda berada di bawah kekuasaan majapahit, karena merasa dihianati maka terjadilah peperangan yang sangat tidak seimbang yang akhirnya seluruh rombongan dari sunda tewas termasuk Prabu Linggabuana dan putrinya Citraresmi. Penggalan cerita tersebut menjadi kontroversial karena tokoh gajah mada yang digambarkan sebagai penghianat, sangat bertolak belakang dengan apa yang para pengamat lain pikirkan bahkan berbeda dengan  pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, hal ini membutuhkan sebuah analisis yang sangat mendalam untuk mengungkap tabir yang masih tertutupi. Namun yang jelas dengan adanya naskah Wangsakerta setidaknya memberikan secercah harapan dalam penyusunan sejarah Jawa Barat dan kerjaan-kerajaan di nusantara yang benar-benar dapat dipertanggung jawabakan.
Satu hal yang patut disayangkan hasil karya yang memakan waktu 22 tahun dengan jumlah naskah ada 47 jilid mencakup gabungan dari berbagai daerah yaitu: Pustaka rajyarajya i Bhumi Nusantara 25 jilid, Pustaka pararatwan 10 jilid, Pustaka Negarakretabhumi 12 jilid, dari jumlah tersebut yang telah berhasil dikumpulkan oleh museum negeri Jawa Barat belum mencapai setengahnya.  Semoga dengan cepat ditemukannya seluruh naskah Wangsakerta bisa menjadi pelita di dalam keburaman sejarah Jawa Barat dan kerajaan-kerajaan di nusantara.

“ Tulisan ini sebagai apresiasi dari keputusan pemerintah yang menetapkan tahun 2010 sebagai tahun kunjungan ke museum ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar