Senin, 26 Maret 2012

carpon


KOTA TUA TAK KENAL CINTA
karya : muhamad erwin nugraha

Ujung  kota tua di negeri yang tak kenal cinta. Sengatan matahari mengelilingi setiap sudut kota, gang, lorong, got, jalan bak pembuluh darah kota yang tiap kali mengeruhkan pandangan. TPA, brand label kota penampung sampah, kiriman dari penjuru negeri, menyayat keindahan yang telah hilang, menebarkan aroma kasih sayang bagi ribuan pemulung yang datang

            Kota tua yang tak kenal cinta , disana manusia tak kenal cinta, manusia adalah dirinya sendiri yang hidup untuk dirinya sendiri. Hidup memang sendiri lahir sendiri kematian pun sendiri, itulah simbol kehidupan kota tua tak kenal cinta. Matahari merayap naik melewati gunung-gunung sampah penuh aroma sisa-sisa kehidupan manusia, manusia yang tak peduli dengan hasil karya mereka sendiri hanya sampah yang mengeruhkan pandangan.
Dia penduduk kota tua, setua umurnya, setua gubuknya, setua bajunya, setua pikirannya yang usang, terbungkus tempurung kepala botaknya. Tangan kanan menggaruk sisi luka borok yang sedikit mengering, hanya sisinya. Tengahnya berwarna putih kehijauan dan merah menjadi santapan lalat-lalat hijau, sementara kaki sebelahnya dibalut dengan sobekan kain yang sudah kumal dengan sedikit gumpalan di tengahnya entah kapas atau bekas pembalut wanita
            “Ah dasar sampah, aku adalah sampah,akan menjadi sampah, ya sampah seperti di bantar gebang, cicabe atau leuwi gajah, yang dibuang dan terbuang, diinjak dan terinjak, dilempar dan terlempar terus dibakar,, ya dibakar”. Dialah lelaki tua yang tinggal sebatang kara, hidup diantara indahnya gunung-gunung sampah, dialalah yang dulunya konseptor penanggulangan sampah di kotanya, namun karena menjadi korban konspirasi hukum atasannya dia terlempar seperti sampah. Keluarganya entah kemana menghilang bagai ditelan gunung-gunung sampah.
            “Akkhhhgg....perutku... hanya menggiling liur dan udara yang ku hirup” Ini adalah hari ketiga usus perutnya memaki-maki dan demontrasi   “berikan hak kami....berikan hak kami” seperti demontrasi para buruh menuntut gajinya segera dibayar. Dia tahu harus bagaimana dan harus kemana, namun kedua kakinya tak mampu tuk berjalan dengan beban berat di punggungnya, sedangkan uang tak sepeserpun yang jatuh hati dalam sakunya,  hanya dengan batu dua kepalan tangan dia tindak kericuhan dalam perutnya,  ya hanya ditekan dan ditekan di atas perutnya.
            “Ah hidup ini adalah hidup, kaya miskin hidup ya...ya” dia berdiri dengan bantuan gancu untuk menahan beban tubuhnya, dia berjalan tertatih tatih bak serdadu yang terkena peluru, kakinya memang sakit namun kericuhan dalam perutnya tak dapat dibiarkan terus berlanjut, karena mungkin jaringan-jaringan dalam ususnya akan berbuat anarkis.
Dia sampai di tempat perniagaannya, hamparan luas padang sampah, bau busuk, asap pembakaran, munusuk hidungnya, pemulung, sampah plastik  melilit dimatanya “ ah mungkin masih tersisa disini” dia menuju truk-truk sampah yang baru menurunkan kiriman sampah kota sampah. Dan memang puluhan pemulung menjadi saingan dirinya mengerubuti sampah yang masih hangat...ya seperti borok yang dikerubuti lalat-lalat hijau besar, “ manusia mungkin lalat”
            Hampir setengah jam dia berada di situ, namun tak satupun roti basi, nasi basi atau apapun masuk kedalam rongga mulutnya. Diapun pergi dan tergolek lelah di bawah pohon yang tak mempunyai cinta, daunnya berguguran  terlelaplah si dia dibawah pohon tak kenal cinta dengan dua kepal tangan batu besar di atas perutnya
Sampah...dimana-mana sampah, di ujung langit kepakan sayap-sayap hitam terus berputar, burung gagak menggantungkan hidupnya di padang sampah, karena hutan telah disihir menjadi pancangan-pancangan beton yang tak lagi ramah. Sementara dia menghindari kericuhan dalam perutnya dengan memaksakan tidur siang, disampingnya telah berdiri sosok hitam pekat mengendus aroma amis dari luka kedua kakinya, ya seekor gagak mendapat hidangan lezat berupa daging busuk, paruh dan matanya tajam mengintai... mematuk dan  mencabiknya.
Ahhhhhhkkkhhh.....si dia menjerit kesakitan matanya terbelalak memerah....memegangi lukanya yang kian menganga, darah mengalir menutupi luka... di rongga perut anarkisme tak bisa dihindarkan, meski sakit dia harus segera menyelesaikannya, disambanginya lagi truk sampah yang baru datang, meskipun dapat dipastikan tak ada yang layak dimakan.
            Di sela-sela kesakitannya dia bersorak, akhirnya kericuhan dalam perutnya terselesaikan, gegap gempita riuh ramai menjadi penanda selesainya pertikaian di rongga perut, walaupun hanya sampah.
            Keadaannya semakin lama kian memburuk , apalagi setelah tragedi burung gagak, luka semakin menganga, melebar dan meleleh... “hidup adalah pilihan karena itu adalah hak” isi kepala botaknya bekerja keras untuk mencari cara agar sembuh,  ‘” aku berpikir maka aku ada”  namun uang sudah tak punya rasa cinta kepadanya. Satu harapan dalam dirinya adalah memilih untuk pergi ke dokter spesialis, dia tahu biaya nya, dia tahu konsekwensinya dia tahu pula keawjibannnya. Namun semua idiologi  yang tertanam dalam dirinya sekarang hanya disandarkan pada gancu dwi fungsi sebagai tongkat dan alat pemulung sampah.
Kota tua tak kenal cinta disana manusia tak kenal cinta.dia mengambil gancu miliknya diasahnya ujung gancu dengan sisa-sisa tenaga di tangannya, tajam benar ujung gancu, ditatapnya ujung gancu “ ini bukanlah pilihan tapi keharusan” gumamnya. Dia tertawa sekeras-kerasnya menandai perginya siang.
            Kegelapan menyerang kota yang tak kenal cinta, jerit-jerit anjing liar menghangatkan malam, longlongan kesakitan dia menciutkan nyali anjing-anjing liar. Sakit, pedih, ngilu menjadi sebuah demontrasi baru yang dirasakan. Sesekali mulutnya mengutuki burung gagak yang menjadi biangnya. Gubuk tua, tak ada yang peduli dan takan ada yang peduli, karena  kata peduli telah dihapus dari kota tua yang tak kenal cinta.
matahari telah menari dibalik gunung-gunung sampah, anjing-anjing liar entah kemana perginya setelah menikmati pekatnya malam. Tapi dia tak sedetikpun memejamkan mata, longlongannya sudah tak bersuara, biji matanya semakin merah menyala. Disela-sela parau suaranya dia maki putaran detik-detik jam yang terasa begitu lambat. Dirasa waktunya tiba dia berjalan ke tengah kota untuk mencari kesembuhan.
Hanya gancu yang menemaninya, gancu yang dahulu dipakai mengait sampah-sampah plastik, gancu yang kemarin ujungnya telah diasah, gancu yang sekarang dijadikannya sandaran dalam berjalan.
“ masuk” dokter berperawakan sedang memanggil, menatap sekilas dengan sudut mata
“Apa yang anda rasakan”
“ wah ini sudah sangat parah”
 “Ini obatnya, semuanya jadi ....”
“ dok saya hanya ingin obat gratis.”
“apa???”
“Loh kenapa anda datang kemari ingat di dunia ini tak ada yang gratis”
Dia menurunkan tangannya, kemudian memegang gagang gancu dengan kuat yang terapit di kedua pahanya
Sang dokter spesialis terus mengoceh tentang arti hidup, tentang hak dan kewajiban, tentang uang dan pengorbanan, sementara tangan si dia semakin kuat memegang gagang gancu, keringatnya mengalir deras ocehan dokter spesialis tak dihiraukannya, yang terdengar hanya bisikan dalam hatinya
“sumpal mulutnya dengan gancu”
tensi darah meningkat jantung berdebar dan tiga...dua...satu... dia terperanjat “baiklah silahkan ambil dan jangan lagi kemari”
mulutnya menganga tekanan degup jantung mengendur, genggaman gancu dilepaskan, karena masih ada orang yang dalam hatinya, jiwanya tersisa sedikit cinta..ya walaupun hanya sedikit cinta di kota tua yang tak kenal cinta. Dia sambar obat di tangan sang dokter, membalikan badan tanpa salam...hanya dengan memegang obat tersebut sakit di kakinya sudah membaik...dia berteriak sekeras-kerasnya, dalam hatinya bergemuruh keyakinan “aku pasti sembuh, sakit ini akan hilang.
Sang surya di atap kota ikut menyapa dengan sengatannya, si dia tebarkan senyum ke tiap orang, semua orang membuka mulutnya lebar-lebar entah sebagai balasan senyuman dia ataukah sebuah cibiran yang tak pernah dihinggapi cinta. Padang sampah bertabur cinta dalam pandangannya, hanya dengan segenggam obat ditangannya.
            Tibalah peraduan di tengah sengal-sengal nafas cinta, di sisa-sisa parau karena cinta, tanpa lama tanpa kata dia minum serbuk obat sang dokter penuh cinta, semangatnya bergelora, akan kembali berlari kencang, memanggul karung-karung sampah, mendatangi langganannya di lokasi prostitusi, mengayuh detik-detik kehidupan tanpa kelabu.
            Manjur...ya manjur benar serbuk obat penuh cinta, si dia merasa tenang, sakit di kaki sirna, tangan sirna, perut, dada sirna, pening penat di isi tempurung kepala botaknya pun sirna..ya sirna ...hilang dan dia terlelap, lelap sekali dan sangat-sangat lelap, deru nafasnya lelap, parau suaranya lelap. Jari tangannya yang penuh cinta menggenggam kertas pembungkus obat dengan rangkaian kata,             ....Obat Keras. Hanya untuk obat  luar....
            Kota tua yang tak kenal cinta di ujung negeri yang tak kenal cinta, sorotan matahari menembus bilik-bilik tua jatuh diatas jasad lelaki tua yang kehilangan cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar