KOTA TUA TAK KENAL CINTA
karya : muhamad erwin nugraha
karya : muhamad erwin nugraha
Ujung kota tua di
negeri yang tak kenal cinta. Sengatan matahari mengelilingi setiap sudut kota,
gang, lorong, got, jalan bak pembuluh darah kota yang tiap kali mengeruhkan
pandangan. TPA, brand label kota penampung sampah, kiriman dari penjuru negeri,
menyayat keindahan yang telah hilang, menebarkan aroma kasih sayang bagi ribuan
pemulung yang datang
Kota tua
yang tak kenal cinta , disana manusia tak kenal cinta, manusia adalah dirinya
sendiri yang hidup untuk dirinya sendiri. Hidup memang sendiri lahir sendiri
kematian pun sendiri, itulah simbol kehidupan kota tua tak kenal cinta.
Matahari merayap naik melewati gunung-gunung sampah penuh aroma sisa-sisa
kehidupan manusia, manusia yang tak peduli dengan hasil karya mereka sendiri
hanya sampah yang mengeruhkan pandangan.
Dia penduduk kota tua, setua umurnya, setua gubuknya,
setua bajunya, setua pikirannya yang usang, terbungkus tempurung kepala
botaknya. Tangan kanan menggaruk sisi luka borok yang sedikit mengering, hanya
sisinya. Tengahnya berwarna putih kehijauan dan merah menjadi santapan lalat-lalat
hijau, sementara kaki sebelahnya dibalut dengan sobekan kain yang sudah kumal
dengan sedikit gumpalan di tengahnya entah kapas atau bekas pembalut wanita
“Ah
dasar sampah, aku adalah sampah,akan menjadi sampah, ya sampah seperti di
bantar gebang, cicabe atau leuwi gajah, yang dibuang dan terbuang, diinjak dan
terinjak, dilempar dan terlempar terus dibakar,, ya dibakar”. Dialah lelaki tua
yang tinggal sebatang kara, hidup diantara indahnya gunung-gunung sampah,
dialalah yang dulunya konseptor penanggulangan sampah di kotanya, namun karena
menjadi korban konspirasi hukum atasannya dia terlempar seperti sampah.
Keluarganya entah kemana menghilang bagai ditelan gunung-gunung sampah.
“Akkhhhgg....perutku...
hanya menggiling liur dan udara yang ku hirup” Ini adalah hari ketiga usus
perutnya memaki-maki dan demontrasi
“berikan hak kami....berikan hak kami” seperti demontrasi para buruh
menuntut gajinya segera dibayar. Dia tahu harus bagaimana dan harus kemana, namun
kedua kakinya tak mampu tuk berjalan dengan beban berat di punggungnya,
sedangkan uang tak sepeserpun yang jatuh hati dalam sakunya, hanya dengan batu dua kepalan tangan dia
tindak kericuhan dalam perutnya, ya
hanya ditekan dan ditekan di atas perutnya.
“Ah
hidup ini adalah hidup, kaya miskin hidup ya...ya” dia berdiri dengan bantuan
gancu untuk menahan beban tubuhnya, dia berjalan tertatih tatih bak serdadu
yang terkena peluru, kakinya memang sakit namun kericuhan dalam perutnya tak
dapat dibiarkan terus berlanjut, karena mungkin jaringan-jaringan dalam ususnya
akan berbuat anarkis.
Dia sampai di tempat perniagaannya, hamparan luas padang
sampah, bau busuk, asap pembakaran, munusuk hidungnya, pemulung, sampah
plastik melilit dimatanya “ ah mungkin
masih tersisa disini” dia menuju truk-truk sampah yang baru menurunkan kiriman
sampah kota sampah. Dan memang puluhan pemulung menjadi saingan dirinya
mengerubuti sampah yang masih hangat...ya seperti borok yang dikerubuti
lalat-lalat hijau besar, “ manusia mungkin lalat”
Hampir
setengah jam dia berada di situ, namun tak satupun roti basi, nasi basi atau
apapun masuk kedalam rongga mulutnya. Diapun pergi dan tergolek lelah di bawah
pohon yang tak mempunyai cinta, daunnya berguguran terlelaplah si dia dibawah pohon tak kenal
cinta dengan dua kepal tangan batu besar di atas perutnya
Sampah...dimana-mana sampah, di ujung langit kepakan
sayap-sayap hitam terus berputar, burung gagak menggantungkan hidupnya di padang
sampah, karena hutan telah disihir menjadi pancangan-pancangan beton yang tak
lagi ramah. Sementara dia menghindari kericuhan dalam perutnya dengan
memaksakan tidur siang, disampingnya telah berdiri sosok hitam pekat mengendus
aroma amis dari luka kedua kakinya, ya seekor gagak mendapat hidangan lezat
berupa daging busuk, paruh dan matanya tajam mengintai... mematuk dan mencabiknya.
Ahhhhhhkkkhhh.....si dia menjerit kesakitan matanya
terbelalak memerah....memegangi lukanya yang kian menganga, darah mengalir
menutupi luka... di rongga perut anarkisme tak bisa dihindarkan, meski sakit
dia harus segera menyelesaikannya, disambanginya lagi truk sampah yang baru
datang, meskipun dapat dipastikan tak ada yang layak dimakan.
Di
sela-sela kesakitannya dia bersorak, akhirnya kericuhan dalam perutnya
terselesaikan, gegap gempita riuh ramai menjadi penanda selesainya pertikaian
di rongga perut, walaupun hanya sampah.
Keadaannya
semakin lama kian memburuk , apalagi setelah tragedi burung gagak, luka semakin
menganga, melebar dan meleleh... “hidup adalah pilihan karena itu adalah hak”
isi kepala botaknya bekerja keras untuk mencari cara agar sembuh, ‘” aku berpikir maka aku ada” namun uang sudah tak punya rasa cinta
kepadanya. Satu harapan dalam dirinya adalah memilih untuk pergi ke dokter
spesialis, dia tahu biaya nya, dia tahu konsekwensinya dia tahu pula
keawjibannnya. Namun semua idiologi yang
tertanam dalam dirinya sekarang hanya disandarkan pada gancu dwi fungsi sebagai
tongkat dan alat pemulung sampah.
Kota tua tak kenal cinta disana manusia tak kenal
cinta.dia mengambil gancu miliknya diasahnya ujung gancu dengan sisa-sisa
tenaga di tangannya, tajam benar ujung gancu, ditatapnya ujung gancu “ ini
bukanlah pilihan tapi keharusan” gumamnya. Dia tertawa sekeras-kerasnya
menandai perginya siang.
Kegelapan
menyerang kota yang tak kenal cinta, jerit-jerit anjing liar menghangatkan
malam, longlongan kesakitan dia menciutkan nyali anjing-anjing liar. Sakit,
pedih, ngilu menjadi sebuah demontrasi baru yang dirasakan. Sesekali mulutnya
mengutuki burung gagak yang menjadi biangnya. Gubuk tua, tak ada yang peduli
dan takan ada yang peduli, karena kata
peduli telah dihapus dari kota tua yang tak kenal cinta.
matahari telah menari dibalik gunung-gunung sampah, anjing-anjing
liar entah kemana perginya setelah menikmati pekatnya malam. Tapi dia tak
sedetikpun memejamkan mata, longlongannya sudah tak bersuara, biji matanya
semakin merah menyala. Disela-sela parau suaranya dia maki putaran detik-detik
jam yang terasa begitu lambat. Dirasa waktunya tiba dia berjalan ke tengah kota
untuk mencari kesembuhan.
Hanya gancu yang menemaninya, gancu yang dahulu dipakai
mengait sampah-sampah plastik, gancu yang kemarin ujungnya telah diasah, gancu
yang sekarang dijadikannya sandaran dalam berjalan.
“ masuk” dokter berperawakan sedang memanggil, menatap
sekilas dengan sudut mata
“Apa yang anda rasakan”
“ wah ini sudah sangat parah”
“Ini obatnya,
semuanya jadi ....”
“ dok saya hanya ingin obat gratis.”
“apa???”
“Loh kenapa anda datang kemari ingat di dunia ini tak ada
yang gratis”
Dia menurunkan tangannya, kemudian memegang gagang gancu
dengan kuat yang terapit di kedua pahanya
Sang dokter spesialis terus mengoceh tentang arti hidup,
tentang hak dan kewajiban, tentang uang dan pengorbanan, sementara tangan si
dia semakin kuat memegang gagang gancu, keringatnya mengalir deras ocehan
dokter spesialis tak dihiraukannya, yang terdengar hanya bisikan dalam hatinya
“sumpal mulutnya dengan gancu”
tensi darah meningkat jantung berdebar dan
tiga...dua...satu... dia terperanjat “baiklah silahkan ambil dan jangan lagi
kemari”
mulutnya menganga tekanan degup jantung mengendur,
genggaman gancu dilepaskan, karena masih ada orang yang dalam hatinya, jiwanya
tersisa sedikit cinta..ya walaupun hanya sedikit cinta di kota tua yang tak
kenal cinta. Dia sambar obat di tangan sang dokter, membalikan badan tanpa salam...hanya
dengan memegang obat tersebut sakit di kakinya sudah membaik...dia berteriak
sekeras-kerasnya, dalam hatinya bergemuruh keyakinan “aku pasti sembuh, sakit
ini akan hilang.
Sang surya di atap kota ikut menyapa dengan sengatannya,
si dia tebarkan senyum ke tiap orang, semua orang membuka mulutnya lebar-lebar
entah sebagai balasan senyuman dia ataukah sebuah cibiran yang tak pernah
dihinggapi cinta. Padang sampah bertabur cinta dalam pandangannya, hanya dengan
segenggam obat ditangannya.
Tibalah
peraduan di tengah sengal-sengal nafas cinta, di sisa-sisa parau karena cinta,
tanpa lama tanpa kata dia minum serbuk obat sang dokter penuh cinta,
semangatnya bergelora, akan kembali berlari kencang, memanggul karung-karung
sampah, mendatangi langganannya di lokasi prostitusi, mengayuh detik-detik
kehidupan tanpa kelabu.
Manjur...ya
manjur benar serbuk obat penuh cinta, si dia merasa tenang, sakit di kaki
sirna, tangan sirna, perut, dada sirna, pening penat di isi tempurung kepala
botaknya pun sirna..ya sirna ...hilang dan dia terlelap, lelap sekali dan
sangat-sangat lelap, deru nafasnya lelap, parau suaranya lelap. Jari tangannya
yang penuh cinta menggenggam kertas pembungkus obat dengan rangkaian kata, ....Obat Keras. Hanya untuk
obat luar....
Kota tua
yang tak kenal cinta di ujung negeri yang tak kenal cinta, sorotan matahari
menembus bilik-bilik tua jatuh diatas jasad lelaki tua yang kehilangan cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar